Tolak bencana, warga tanam kepala kerbau. Itulah judul berita yang tidak jarang kita temukan di media-media elektronik maupun cetak ketika muncul kekhawatiran datangnya bencana di tengah-tengah masyarakat.
Memang, tidak ada orang yang suka tertimpa bencana. Oleh sebab itu semua orang berupaya untuk menghindar dan menyelamatkan diri dari bencana. Akan tetapi, yang menjadi masalah -bahkan sumber petaka- adalah ketika sebagian orang justru menolak bencana dengan bencana, bahkan bencana yang lebih dahsyat!
Musibah adalah Takdir Allah
Saudaraku, musibah dan bencana merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan oleh Allah lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah menulis takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim).
Sebagai seorang muslim, kita wajib mengimani takdir. Suatu ketika, malaikat Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang iman, maka di antara jawaban beliau adalah, “Hendaknya kamu beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim).
Iman kepada takdir adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar. Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata tentang orang-orang yang mengingkari takdir di masanya, “Sampaikanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun tidak punya urusan denganku. Demi Allah, yang jiwa Ibnu Umar di tangan-Nya, seandainya mereka punya emas sebesar gunung Uhud kemudian mereka infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai mereka beriman terhadap takdir.” (lihat Kitab al-Iman, Shahih Muslim). Ini menunjukkan bahwa orang yang mengingkari takdir bukan termasuk orang beriman.
Berlindunglah Kepada Allah
Seorang hamba yang ingin selamat dari berbagai macam musibah dan bencana hendaknya hanya berlindung dan berdoa kepada Allah. Karena hanya Allah yang menguasai segala urusan di langit dan di bumi. Dia lah yang menguasai segala manfaat dan madharat.
Isti’adzah/meminta perlindungan merupakan salah satu bentuk doa. Sementara doa adalah ibadah; sehingga tidak boleh ia ditujukan kepada selain Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa itu adalah [intisari] ibadah.” (HR. Tirmidzi, hasan sahih). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman: Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36)
Seorang yang berdoa dan memohon perlindungan kepada selain Allah telah menujukan ibadah kepada yang tidak berhak menerimanya. Allah ta’ala berfirman mengenai sesembahan yang diseru selain-Nya (yang artinya), “Sesembahan-sesembahan yang kalian seru selain-Nya sama sekali tidak menguasai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu menyeru/berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar kamu termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106)
Syirik Kezaliman Terbesar
Menujukan doa dan ibadah kepada selain Allah merupakan kekafiran, kemusyrikan, dan kezaliman. Kekafiran orang yang berdoa kepada selain Allah merupakan ketetapan al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menyeru/berdoa kepada sesembahan lain selain [berdoa] Allah, yang sama sekali tidak ada dalil yang membenarkannya, maka sesungguhnya perhitungannya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mukminun: 117).
Berdoa kepada selain Allah pun termasuk kezaliman, bahkan kezaliman yang terbesar. Karena ibadah adalah hak Allah. Barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah berarti dia telah menujukan ibadah kepada yang tidak berhak menerimanya, dan itulah kezaliman. Hak Allah adalah hak pertama dan paling agung yang harus dipenuhi, sehingga tidak menunaikan hak Allah merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini anda bisa mengetahui bahwa slogan-slogan penegakan keadilan yang kerapkali didengungkan oleh sebagian kalangan namun dengan meminggirkan agenda tauhid dan pemberantasan syirik sesungguhnya merupakan seruan yang tidak adil dan tidak proporsional. Bagaimana mereka begitu geram tatkala melihat kezaliman kepada makhluk, sementara kezaliman terhadap hak Sang Khaliq justru dianggap remeh dan biasa-biasa saja?! Sungguh mengherankan…
Orang Musyrik Pun Berdoa Kepada Allah
Jangan anda kira bahwa orang-orang musyrik tidak pernah berdoa kepada Allah. Bahkan, mereka berdoa kepada Allah siang dan malam. Hanya saja mereka mempersekutukan Allah di dalam doanya. Mereka berdoa kepada Allah, namun mereka juga berdoa kepada selain Allah. Apalagi dalam kondisi genting dan terjepit, mereka mengikhlaskan doanya untuk Allah semata. Walaupun tatkala Allah selamatkan mereka, mereka pun kembali berbuat syirik.
Allah ta’ala menceritakan hal itu dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka apabila mereka menaiki perahu -di lautan dan diterpa badai- mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/doa kepada-Nya. Namun, tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka pun kembali berbuat syirik.” (QS. al-‘Ankabut: 65).
Hal ini menunjukkan bagaimana keyakinan orang-orang musyrik di kala itu. Mereka meyakini bahwa dalam keadaan terjepit tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan mereka kecuali Allah. Oleh sebab itu mereka berdoa hanya kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Maka bandingkanlah dengan sebagian orang pada masa sekarang ini yang berdoa, memohon perlindungan dan keselamatan kepada selain Allah, baik ketika lapang maupun sempit. Aduhai, alangkah bodohnya perbuatan mereka itu… Melebihi kebodohan orang-orang musyrik masa silam.
Mempersembahkan Sembelihan Adalah Ibadah
Tidak boleh mempersembahkan sembelihan kepada selain Allah, karena hal itu merupakan kemusyrikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Rabb seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya…” (QS. al-An’aam: 162). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)
Boleh saja menyembelih untuk selain Allah kalau bukan dalam rangka ritual persembahan. Seperti halnya menyembelih kambing untuk walimah/resepsi, untuk hidangan tamu, untuk makan-makan/pesta dan lain sebagainya. Dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat jelas dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Adapun sembelihan dalam rangka taqarrub/pendekatan diri kepada Allah sudah ditentukan bentuk-bentuknya, seperti halnya qurban pada hari raya Iedul Adha.
Hukum asal perkara ibadah/ritual adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, pasti akan tetolak.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan, “Waspadalah dari perkara-perkara yang diada-adakan -dalam urusan agama-. Karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hasan sahih)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa menyembelih binatang -kerbau atau apapun jenisnya- kemudian menanam kepala atau bagian tubuhnya yang lain di tempat tertentu dengan alasan/niat untuk memohon keselamatan kepada Allah jelas termasuk perbuatan yang mengada-ada dan tidak ada tuntunannya. Karena tidak ada satupun dalil yang memerintahkan perbuatan semacam itu, baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam as-Sunnah, tidak pula diamalkan oleh para Sahabat radhiyallahu’anhum. Lantas, ajaran siapakah ini?!
Belum lagi, jika kita telusuri lebih dalam. Ternyata perbuatan semacam ini biasanya dilandasi keyakinan adanya jin atau sosok makhluk gaib tertentu -selain Allah, yang mereka sebut dengan istilah gendruwo, kuntilanak, simbah, dhemit, lelembut, dsb- yang menguasai alam ini -entah itu di laut selatan, gunung tertentu, jembatan yang akan dibangun, sungai tertentu, pohon besar, dsb- yang mereka khawatirkan akan mendatangkan bahaya dan bencana apabila tidak diberikan persembahan (sesaji) kepadanya. Takut kuwalat, takut tertimpa malapetaka, itulah alasan mereka. Kalau seperti ini, jelas syirik hukumnya. Apabila pelakunya meninggal dan belum bertaubat darinya, di akhirat dia kekal tersiksa di dalam neraka, na’udzu billahi min dzalik!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang berbuat zalim (syirik) itu.” (QS. al-Maa’idah: 72)
Sebagian orang –semoga Allah menunjuki mereka– mungkin akan berdalih bahwa hal itu mereka lakukan semata-mata untuk melestarikan tradisi leluhur dan demi mengekspresikan rasa syukur. Aduhai, apakah ayat dan hadits akan kita tolak dengan tradisi leluhur? Apakah syukur itu diwujudkan dengan mempersekutukan Allah dan berbuat kekafiran kepada-Nya?
“Anda terlalu kaku, kita harus mengenal kearifan lokal dan menghargai budaya nenek moyang.” Sebagian orang bisa jadi berkomentar demikian. Siapakah yang kaku sesungguhnya? Orang yang setia kepada bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah ataukah orang yang bersikukuh mempertahankan pendapatnya yang bertentangan dengan agama? Siapkah yang arif? Orang yang mengikuti hawa nafsu dan perasaannya sembari membuang ayat dan hadits, ataukah orang yang menundukkan jiwa dan raganya kepada ajaran agama Allah yang hanif ini? Allahul musta’aan.